Senin, 07 Desember 2009

SOSIALIS


Ketika Kekuasaan jadi yang utama
Takut pada penindasan
keputusaasaan selalu menghantui jiwa
ingin jauh dari Kenyataan

Kapankah akan berakhir?

Hidup ini hanya anugerah
segalanya telah diaturnya


Akan Tetapi...


"Jangan pernah menyerah"


Jangan utus asa
Bakar trus semangatmu
Nyatakan bahwa kamu bisa




Jangan ragu


Bulatkan tekad 
Bangkit dari keterpurukan
Lawan kemiskinan
Hidupkan kedamaian
Bersiaplah untuk perubahan




by; Juan Mendröfa


PROSES MORFOLOGI BAHASA NIAS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
            Bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia, sebagian besar bangsa Indonesia mempelajari dan menggunakan bahasa daerah dalam interaksi kehidupan masyarakat. Ucapan dan cara penyampaian ide-ide dipengaruhi kebiasaan yang lazim digunakan oleh masyarakat itu. Bahasa daerah tetap dipelihara oleh negara sebagai bagian kebudayaan yang hidup.
            Bahasa Nias atau Li Niha merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya dalam kehidupan berinteraksi sehari-hari.
Komunikasi dengan bahasa merupakan pemahaman dan pemberian respon yang dapat berupa kalimat perintah, berita, pertanyaan, jawaban dan lain-lain. Namun ada orang yang beranggapan bahwa kompetensi penggunaan bahasa seakan-akan dicapai dengan sempurna melalui keturunan dan warisan saja. Pandangan ini keliru karena kemampuan penguasaan dan penggunaan bahasa harus melalui latihan-latihan baik mengenai pengucapan maupun mempergunakan bahasa dengan baik dan benar. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Keraf 1984:16). Di lain pihak ada komunikasi dilakukan dengan tulisan. Hal tersebut berarti kompetensi menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan kemampuan memakai apa yang dicoba. Jadi relevansi bahasa bahasa dengan pemikiran manusia sangatlah erat. Sesuai dengan kodrat manusia, maka kerangka karangan pemikirannya tetap berkembang, sesuai lingkungan yang dihadapainya sehingga perkembangan bahasa juga ikut serta di dalamnya.
            Tidak selamanya seseorang yang berbahasa itu dapat menganalisis suatu bahasa dengan sangat akurat, baik bahasa ibu yang yang sedang atau akan dipelajari. Ilmu kebahasaan yang dimiliki akan menolong penutur untuk menuturkannya sebagaimana dituturkan oleh penutur asli bahasa itu
1.2     Batasan Masalah
Masalah hanya terbatas untuk bentuk morfologi bahasa Nias
1.3     Tujuan

















BAB II
PROSES MORFOLOGI
BAHASA NIAS

Apakah proses morfologis itu?
            Sedikit teori mengenai hal tersebut. Proses morfologis adalah proses pembentukan kata-kata dari kesatuan yang lain yang merupakan bentuk dasarnya. Bentuk dasarnya mungkin berupa kata, seperti kata wa’aröu yang dibentuk dari kata aröu (jauh), kata fagaragazi yang dibentuk dari kata garagazi (gergaji), muta-muta dari kata muta (muntah); mungkin juga berupa pokok kata, misalnya kata mangandrö dari pokok kata andrö (minta/ berdoa), kata  dari kata alir; mungkin berupa frase, misalnya frase ketidakadilan dibentuk dari frase tidak adil.
            Dalam bahasa indonesia terdapat tiga proses morfologis, yaitu :
1. Proses pembubuhan afiks (afiksasi)
2. Proses pengulangan (reduplikasi)
3. Proses pemajemukan.

            Disamping tiga proses morfologis diatas, dalam bahasa Indonesia sebenarnya masih ada satu proses lagi yang disebut dengan proses perubaan zero. Proses ini hanya meliputi sejumlah kata tertentu, yakni kata yang termasuk golongan kata verbal transitif, seperti : manga, öli, haogö, dan andrö, yang semuanya adalah kata verbal transitif (kata verbal yang dapat diikuti oleh objek dan dapat diubah menjadi kata verbal pasif). Misalnya:
Mowöli => La’öli (beli)
Mangihaogö => Lahaogö (bangun)
Manga => La’a (makan)



2.1 Proses Pembubuhan Afiks (Imbuhan)
            Proses pembubuhan afiks adalah pembubuhan afiks suatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata. Misalnya pembubuhan afiks ‘fa-‘ pada kata ‘udu’ menjadi ‘faudu’(berkelahi). Bentuk tunggal => terdiri dari satu morfem, misalnya : manga(makan), mörö(tidur). Bentuk kompleks => terdiri lebih dari satu morfem : omo hada(rumah adat), fagohi(berlari), kata ‘fagohi’ terdiri dari dua morfem yakni morfem [fa-] dan morfem [gohi]. Satuan yang dilekati afiks atau yang menjadi dasar pembentukan bagi satuan yang lebih besar disebut bentuk dasar, dalam contoh di atas kata ‘udu’ adalah bentuk dasar dari ‘faudu’, kata ‘fagohi’ adalah bentuk dasar dari kata ‘gohi’.
            Afiks merupakan suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Misalnya kata ‘mamadu’, terdiri dari dua unsur yaitu ‘ma-’ yang merupakan satuan terikat dan ‘badu’ sebagai kata. Maka morfem ‘ma-’ merupakan afiks. Sebelum ‘ma-’ ditetapkan sebagai afiks, harus diteliti lebih jauh, apakah ‘ma-’ itu mampu melekat pada satuan-satuan lain yang membentuk kata atau pokok kata yang baru. Dari kata-kata manari (menari), mamasi (memanen), dapatlah ditentukan bahwa ‘ma-’ mempunyai kemampuan melekat pada satuan-satuan lain, dan dengan demikian ‘ma-’ dapat ditentukan sebagai afiks. Berbeda dengan kata ‘marase’ (capek), ‘ma-’ bukan afiks karena kata itu hanya terdiri dari satu unsur.
            Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatik selalu melekat pada satuan lain. Morfem ‘ba-’(di) seperti dalam ‘ba kabu’ (di kebun), ‘ba laza’ (di sawah), tidak dapat digolongkan afiks sebab sebenarnya morfem tersebut secara gramatik mempunyai sifat bebas. Morfem-morfem ita (ya’ita/ kita), -mi/ ami (ya’ami/ kalian), ira (ya’ira/ mereka) bukan merupakan afiks, melainkan temasuk golongan klitik seperti morfem ku, mu, nya, kau, dan isme dalam bahasa Indonesia.
            Beberapa afiks dalam bahasa Nias, yakni mo-, ma-, mang-. Misalnya: khao -> mogao  (menggali), boto -> mamoto (memecahkan), tunu -> manunu (membakar), sasai -> manasai (mencuci), fazökhi -> mamazökhi (memperbaiki), tibo’ö -> manibo’ö (buang), dan ötö -> mangötö (menyeberangi). Dalam contoh-contoh di atas, subjek memberikan tekanan pada apa yang dilakukannya. Jadi, dengan mengetahui bahwa: saya = ya’odo, engkau = ya’ugö, pergi = möi, ke = ba, sekolah = sekola, tidak = lö / lö’ö, baik = sökhi, kelakuan = amuata.

2.2 Proses Pengulangan (Reduplikasi)
            Proses pengulangan atau reduplikasi adalah pengulangan suatu gramatik, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Ada beberapa pengertian reduplikasi menurut berbagai pakar kebahasaan, yaitu:
1.      Pengulangan adalah proses pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, baik secara utuh maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Soedjito,1995:109)
2.      Proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Ramlan,1985:57)
3.      Proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. (Muslich,1990:48)
4.      Proses reduplikasi yaitu pengulangan satuan gramatikal, baik selurunya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disebut kata ulang, satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. (Solichi,1996:9)
5.      Pengulangan ialah proses perulangan bentuk dasar baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Soepeno,1982:20)
            Jadi, ada pula yang berpendapat bahwa, reduplikasi ialah proses pembentukan kata, dengan cara mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan maupun sebagian, baik baik disertai perubahan bunyi atau tidak. Proses reduplikasi ini menghasilkan kata ulang, dan kata ulang ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang bisa disebut kata ulang. Ciri reduplikasi, masih dibagi menjadi dua, yaitu ciri khusus reduplikasi dan ciri umum reduplikasi sebagai proses pembentuk kata.
a. Ciri khusus reduplikasi.
1.      Selalu memiliki bentuk dasar dan bentuk dasar kata ulang selalu ada dalam pemakaian bahasa. Maksud ”dalam pemakaian bahasa” adalah dapat dipakai dalam konteks kalimat dan ada dalam kenyataan berbahasa.
 Contoh:
Kata Ulang
Bentuk Dasar
Menguma-nguma’ö (mengungkapkan)
Manguma’ö
Mangorudu-rudu (berkumpul)
Mangorudui
Mowagohi-gohi (berlari-lari)
mowagohi
Modögö-dögö(bergerak-gerak)
Modögö, bukan dögö
Fatuli-tuli (berdesak-desakkan)
Fatuli

2.      Ada hubungan semantis atau hubungan makna antara kata ulang dengan bentuk dasar. Arti bentuk dasar kata ulang selalu berhubungan dengan arti kata ulangnya. Ciri ini sebenarnya untuk menjawab persoalan bentuk kata yang secara fonemis berulang, tetapi bukan merupakan hasil proses pengulangan.
Contoh:
§     Bentuk faya bukan merupakan bentuk dasar dari kata faya-faya (bohong)
§     Bentuk öna bukan merupakan bentuk dasar dari kata öna- öna (sedang).
3.      Pengulangan pada umumnya tidak mengubah golongan kata atau kelas kata. Apabila suatu kata ulang berkelas kata benda, bentuk dasarnya pun berkelas kata benda. Begitu juga, apabila kata ulang itu berkelas kata kerja, bentuk dasarnya juga berkelas kata kerja. Lebih jelasnya, jenis kata kata ulang, sama dengan bentuk dasarnya.
Contoh:

Kata Ulang
Bentuk Dasar
Omo-omo (kata benda)
Omo = rumah (kata benda)
Moto-moto (kata benda)
Moto = mobil (kata benda)




Fagohi-gohi (kata kerja)
fagohi = Berlari (kata kerja)
da'i-da'i (kata sifat)
da'i (kata sifat)
Ebua-bua (kata sifat)
Ebua = Besar (kata sifat)

b. Ciri umum reduplikasi sebagai proses pembentukan kata.
1.      Menimbulkan makna gramatis.
2.      Terdiri lebih dari satu morfem (Polimorfemis).

            Dari beberapa ciri tersebut, dapat diklasifikasikan beberapa jenis kata ulang. Ada dua jenis kata ulang, yaitu kata ulang murni dan kata ulang semu, sebagaimana berikut:
a.       Kata ulang murni, adalah kata ulang yang masih dapat dipisah menjadi bentuk yang lebih kecil dan mempunyai bentuk dasar. berdasarkan bentuk proses pengulangannya, ada tiga macam kata ulang murni, yaitu:
1.      Kata ulang utuh, adalah kata ulang yang diulang secara utuh.
Contoh: omo + { R } = omo-omo (rumah)
2.      Kata ulang sebagian, adalah kata ulang yang pada proses pengulangannya hanya sebagian dari bentuk dasar saja yang diulang.
Contoh: manörö+ { R } = manörö- nörö ( jalan-jalan)
3.      Kata ulang berimbuhan, adalah kata ulang yang mendapatkan imbuhan atau kata ulang yang telah diberi afiks. Baik itu prefiks, infiks maupun sufiks.
 Catatan: dalam BN tidak dikenal kata yang berakhiran konsonan.
4.      Kata ulang berubah bunyi, adalah kata ulang yangberubah bunyi dari bentuk dasarnya setelah terjadinya proses pengulangan.
Contoh: mananda + { R } = mananda-nandaigö (mencoba)
b.      Kata ulang semu, sebenarnya bukan kata ulang tetapi menyerupai kata ulang karena bentuk   dasarnya sudah seperti itu.

2.3  Komposisi atau Pemajemukan dalam Bahasa Nias (BN)   
         Pembicaraan tentang kata majemuk dan pemajemukan sampai sekarang belum pernah memuaskan semua pihak. Faktor-faktor yang terlibat di dalamnya tidak selalu dapat dijelaskan secara kebahasaan. Di antara penulis tata bahasa, ada yang mencoba menjelaskannya dari sudut arti yang dikandungnya, ada pula yang rnencoba menjelaskan dari segi struktur dengan menentukan ciri-cirinya (Ahmadslamet, 1982:65), bahkan ada pula yang menggabungkan kedua segi tinjau tersebut.
            Kalau kita membaca buku-buku tata bahasa, lebih terlihat adanya pertentangan tentang pembahasa pemajemukan dan tata majemuk. Golongan pertama yang rnengatakan bahwa kata majemuk itu ada dalam bahasa Indonesia seperti Slametmulyana (1957) dalam bukunya Kaidah Bahasa Indonesia II, St. Takdir Alisyahbana (1953) dalam bukunya Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia Jilid II, Gorys Keraf (1982) dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia untuk SLA, dan Ramlan (1983) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tinjauan Deskritif. Golongan kedua, A.A. Fokker (1972) dalam Sintaksis Indonesia terjemahan Jonhar dan Jos Daniel Parera dalam bukunya Pengantar Linguistik Umum Bidang Morfologi Seri B (Parera, 1980:59).
            Yang tidak setuju mengemukakan argumentasi bahwa konsep yang diberikan terhadap penamaan kata majemuk tidak sesuai dengan contoh-contoh fakta kebahasaan yang dikemukakan. Contoh-contoh yang diajukan tidak mendukung definisi kata majemuk yang berbunyi, “gabungan dua kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan.dan menimbulkan pengertian baru”. Contohnya kamar mandi dan semangat juang, tidak memperlihatkan adanya kesatuan baik secara struktur maupun semantis. Secara struktur di antara kata-kata tersebut sebenarnya masih dapat disisipkan kata-kata lain. Di antara kamar mandi masih dapat disisipkan kata untuk sehingga menjadi kamar untuk mandi, pada semangat juang dapat disispkan bentuk-bentuk dalam dan bentuk ber- sehingga menjadi selamat dalam berjuang. Secara semantis, gabungan kamar mandi dan semangat juang tidak memperlihatkan adanya makna yang benar-benar baru yang benar-benar berbeda dengan makna dasar unsur-unsurnya. Pada gabungan kamar mandi masih terasa makna kamar dan pada semangat juang masih tarkandung makna semangat (Sitindoan, l984:99).
            Parera (1980:60) mengemukakan alasan lain, ditilik dari segi definisi terlihat adanya kontadiksi dalam definisi tersebut. Yang dimaksud oleh beliau yakni satu kata yang terdiri dari dua kata atau lebih. Secara matematis, 1+1 = 1 atau 1+1+1 = 1. Dalam hal ini, definisi tersebut kekurangan satu konsep yang lain yaitu konsepsi kata. Satu kata ditambahi satu kata yang nilainya sama pastilah hasilnya dua kata, dan bukan satu kata seperti definisi, “kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung satu pengertian”.
            Keberatan lain yang dikernukakan Parera terhadap pendapat yang ada yaitu dalam membahasa kata majemuk bahasa Indonesia, terdapat pencampuradukan aspek makna dan aspek bentuk dalam satu definisi, karena pada akhirnya aspek makna yang akan menjadi pedoman dan dominan dalam analisis bahasa kita. Itu berbahaya.
            Di sini, penulis tidak akan mempertentangkan dua golongan secara mendetail. Terlepas dan setuju atau tidaknya ada kata majemuk dalam bahasa Indonesia, penulis akan mengernukakan pendapat yang menyetujui adanya pendapat kata majemuk dalam bahasa Indonesia. Hal ini penulis lakukan karena pendapat ini banyak dikutip dan dipergunakan sebagai pedoman bahan pengajaran di sekolah-sekolah. Berikut ini, penulis akan memaparkan pendapat Ramlan (1983), yang ditunjang oleh Prawirasumantri (1986), Ahmadslamet (I982), dan Badudu (1976).
2.3.1 Pengertian Pemajemukan dan Kata Majemuk
            Pemajemukan yaitu proses morfologis yang berupa perangkaian (bersama-sama) dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang menghasilkan satu kata (Prawirasumantri, 1986:10), Hasil proses pemajemukan disebut kata majemuk, Ramlan (1983:67) mendefinisikan kata majemuk yakni kata yang terdiri dari dua kata atau lebih sebagai unsurnya. Sedangkan Badudu (1976: 8) mendefinisikannya, gabungan dua buah morfem dasar atau lebih yang mengandung (memberikan) suatu pengertian baru. Kata majemuk tidaklah menonjolkan arti tiap kata, tetapi gabungan kata tersebut bersama-sama membentuk suatu makna.
            Dan definisi yang dikemukakan ada perbedaan pengertian kata majemuk menurut Ramlan dengan Badudu, Jika Ramlan mendefinisikan kata mjemuk, “kata yang terdiri dan dua kata atau lebih”, maka kata-kata seperti beras-petas, lalu-lalang, simpang-siur yang oleh Ramlan dimasukkan ke dalam kata majemuk, hal itu tidak dapat dipertahankan lagi. Benarkah petas, lalang, dan siur termasuk kata? Jelas tidak benar. Supaya kata-kata seperti itu dapat digolongkan ke dalam kata majemuk, maka definisi kata majemuk ialah “ kata yang dihasilkan dengan cara menggabungkan dua buah bentuk dasar atau lebih yang berbeda”. Sedangkan proses pemajemukan atau komposisi dapat didefinisikan, proses penggabungan dua buah bentuk dasar atau lebih yang berbeda untuk menghasilkan sebuah kata baru.
 2.3.2 Ciri-ciri Kata Majemuk
            Ramlan (1983:67), Prawirasumantri (1986:11), dan Ahmadslamet (1982:66) menerangkan, sekilas kata majemuk sukar dibedakan dan bentuk lingual atau satuan gramatik yang berupa konstruksi predikatif, yakni suatu konstruksi yang terdini atas subjek dan predikat, dan konstruksi endosentris yang atributif yakni frase yang rnempunyai distribusi yang sama dengan salah satu atau semua unsurnya.
            Agar perbedaannya jelas, analisislah bentuk naha mondri (kamar mandi)  dan akhi mondri (adik mandi). Tampaknya dua bentuk tersebut sama, karena sama-sama dibangun oleh KB + KK. Akan tetapi kalau kita analisis, kedua bentuk tersebut mempunyai sifat yang berbeda. Bentuk naha mondi  bukanlah konstruksi predikadif atau frase endosentris yang atributif, tetapi merupakan sebuah kata benda. Berbeda dengan bentuk akhi mondri, ia merupakan sebuah konstruksi predikatif (akhi sebagai subjek dan mondri sebagai predikat). Kamar mandi termasuk kata majemuk, sedangkan mandi bukan kata majernuk.
            Berdasarkan penjelasan di atas, Ramlan (1983:69) mengemukakan ciri-ciri kata majemuk sebagai berikut.
l) Gabungan dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata termasuk kata majemuk.
            Pokok kata yaitu bentuk lingual atau satuan gramatik yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan secara gramatis tidak memiliki sifat bebas tetapi dapat dijadikan bentuk dasar sutu kata kompleks. Bentuk yang terdiri dari bentuk dasarnya yang berupa morfem bebas dengan pokok kata atau pokok kata semua, maka gabungan tersebut pastilah termasuk kata majemuk.
Contohnya: omo hada (rumah adat).
2) Unsur-unsur kata majemuk tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya.
            Akhirnya, perlu disinggung lagi di sini bentuk yang terdiri atas bantuk dasar dan morfem unik yakni morfem yang tidak pernah hadir dalam pemakaian bahasa kecuali dalam keadaan berkombinasi dengan bentuk tertentu. Gabungan seperti itu disebut kata majemuk yang salah satu bentuk dasarnya berupa morfem unik. uniknya?
            Lebih terinci Keraf (1982:125) menyatakn cirri-ciri kata majemuk sebagai berikut:
1)  Gabungan itu membentuk suatu arti.
2) Gabungan itu dalam hubungannnya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik
    keterangan-keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya.
3)  Biasa terdiri atas kata-kata dasar.
4) Frekuensi pemakaiannya tinggi.
5) Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menueur hukum
    DM (Diterargkan mendahului menerangkan).
2.3.3 Macam-macam Kata Majemuk
            Kata majemuk dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kata majemuk endosentris dan eksosentris. Kata majemuk endosentris yaitu kata majemuk yang konstruksi distribusinya sama dengan kedua (ketiga) atau salah satu unsurnya. Kata majemuk eksosentris, sebaliknya, yaitu kata majemuk yang konstruksinya itu berlainan distribusinya dan salah satu unsurnya (Samsuri, 1982:200).  
             Kata majemuk endosentris dapat dibedakan menjadi: kata majemuk koordinatif yaitu kata majemuk yang unsur-unsurnya mempunyai hubungan yang setara atau sederajat, misalnya: budi bahasa (Suwarso, 1979:38); kata majemuk atributif atau subordinatif yaitu kata majemuk yang salah satu unsurnya menjadi penjelas atau atribut unsur lainnya, misalnya: rumah sakit, orang tua (Suwarso, 1979:38) ; dan kata majemuk yang salah satu unsurnya berupa morfem unik, misalnya: lalu lalang (Ramlan, l983:50).







BAB III
PENUTUP

            Pemakaian bahasa mengalami banyak perubahan dari setiap massa. Hal itu tidak luput dari semakin berkembangnya teknologi yang diikuti pula oleh perkembangan-perkembangan di bidang lain, bahasa salah satunya.
            Banyak jenis, macam, dan versi tentang pemakaian bahasa yang benar dan tepat. Tetapi, dari semua itu akan muncul tata cara berbahasa yang baru, memberikan revisi bagi pemakaian bahasa yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembnagan zaman. Oleh karena itu, perlu diadakannya sebuah konferensi atau persetujuan untuk menentukan standard-standard dan tata cara berbahasa dengan baik dan benar.
            Demi menghindari adanya kesalahan atau kerancuan dalam berbahasa, disarankan bagi pengguna bahasa untuk menggunakan tata cara yang umum dan banyak digunakan oleh masyarakat. Namun, para pengguna bahasa juga harus mengoreksi lagi, apa tata cara tersebut sesuai dengan standar dan tata cara yang telah disepakati dalam konferensi. Pemakaian bahasa yang umum belum tentu benar, justru karena pemakaiannya yang telah menyeluruh itu kesalahannya jadi tidak tampak.









DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Muslich, Masnur. 1990. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Malang: YA 3 Malang.
Rustamaji. 2005. Panduan Belajar SMA Kelas 3. Jakarta: Primagama.
Sepeno.1982. Inti Bahasa Indonesia. Solo: Depdikbud.

Siregar, Ahmad Samin. 1984. Morfologi dan Sintaksis bahasa Nias. Jakarta: Pusat Pembinaan   

            dan Pengembangan Bahasa

 

Siregar, Ahmad Samin. 1981. Morfologi dan Sintaksis bahasa Nias. Medan: Fakultas Sastra-

            USU

Solichi, Mansur. 1996. Hand-Out Morfologi. Malang: IKIP Malang.
Soedjito. 1995. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang.

by: Juan Mendröfa


PROSES MORFOLOGI BAHASA NIAS